Asas Praduga Tak Bersalah – Menghakimi, Perkara Pidana dan Perdata
Pengertian Asas Praduga Tak Bersalah
Praduga Tak Bersalah adalah prinsip di mana seseorang tidak bersalah sampai pengadilan menyatakan bersalah. Prinsip ini sangat penting dalam demokrasi modern dengan banyak negara memasukkannya ke dalam konstitusi.
Praduga tak bersalah diatur dalam KUHAP (“KUHP”) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“Kekuasaan Kehakiman Hukum”).
Dalam KUHP, asas praduga tidak bersalah dijelaskan dalam Penjelasan Umum KUHAP ke titik 3 huruf c, yaitu :
“Setiap orang yang dicurigai, ditangkap, ditahan, dituntut atau yang dihadapi dalam menghadapi pengadilan, harus dianggap tidak bersalah sampai putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Sementara didalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman praduga tak bersalah berdasarkan Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi :
“Setiap orang yang dicurigai, ditangkap, ditahan, dituntut, atau muncul di depan pengadilan harus dianggap tidak bersalah sebelum putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Salah satu buku yang membahas praduga tak bersalah ditulis Menurut M. Yahya Harahap, SH dalam bukunya “Masalah Diskusi dan Investigasi dan Penuntutan Aplikasi Acara Pidana” (hal. 34), mengenai penerapan anggapan tidak bersalah adalah :
“Tersangka harus ditempatkan pada posisi yang memiliki esensi martabat manusia. Dia harus dianggap sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa tersangka bukan manusia. Dilakukannyalah tindakan pelanggaran yang merupakan obyek pemeriksaan. Menuju kesalahan yang dilakukan tindak pidana ditujukan pemeriksaan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai keputusan pengadilan yang telah diselesaikan. “
Sementara Profesor Hukum Pidana Universitas Trisakti Prof. Andi Hamzah dalam praduga tak bersalah artikel Tidak Bisa Ditafsirkan Dengan Letterlijk (secara harfiah), bahwa prinsip praduga tidak bersalah (praduga tak bersalah) tidak dapat ditafsirkan letterlijk (apa yang dikatakan).
Menurut dia, jika prinsip-prinsip diinterpretasikan letterlijk, maka tugas polisi tidak akan bisa berjalan. Pandangan Prof. Andi, praduga tak bersalah adalah hak-hak tersangka sebagai manusia diberikan. Hak yang ia dimaksudkan untuk menikah dan bercerai misalnya, berpartisipasi dalam pemilu dan sebagainya.
Intinya adalah praduga tak bersalah setiap orang yang dicurigai, ditangkap, ditahan, dituntut atau yang dihadapi dalam menghadapi pengadilan, harus dianggap tidak bersalah sampai putusan pengadilan yang telah menyatakan bahwa kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mengenai laporan pers tentang kejahatan dan praduga tak bersalah, maka kita perlu melihat ketentuan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”) dan Kode Etik Jurnalistik yang diselenggarakan Dewan Pers.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang (“UU Pers”) Pers, yang dimaksud dengan pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memiliki, memperoleh, mengolah, menyimpan dan menyampaikan informasi dalam bentuk teks, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik ataupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis deskripsi yang tersedia.
UU Pers mewajibkan pers untuk menghormati asas praduga tidak bersalah dalam melaporkan peristiwa dan opini. Hal ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 5 (1) UU Pers, yang berbunyi :
“Pers nasional berkewajiban mempublikasikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tidak bersalah”.
Penjelasan Pasal 5 (1) UU Pers menyatakan bahwa :
“Pers nasional dalam siaran informasi, tidak menghakimi atau membuat kesalahan sendiri kesimpulan seseorang, terutama untuk kasus-kasus yang masih dalam proses pengadilan dan dapat mengakomodir kepentingan semua pihak yang terlibat dalam artikel.”
Perusahaan pers yang melanggar asas praduga tak bersalah diancam dengan denda maksimal Rp500 juta (Pasal 18 ayat [2] UU Pers).
Selain ketentuan UU Pers, wartawan juga diwajibkan untuk mematuhi Kode Etik Jurnalistik (Pasal 7 (2) UU Pers). Kode Jurnalistik ditugaskan dan diawasi pelaksanaannya oleh Dewan Pers (Pasal 15 [2] c UU Pers).
Menurut Pasal 3 Kode Junalistik, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, mengekspos secara seimbang, tidak mencampur fakta dan opini hakim, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Interpretasi dari ketentuan pasal ini meliputi:
- Seimbang adalah memberikan ruang atau waktu untuk pelaporan masing-masing pihak secara proporsional.
- Opini hakim adalah pendapat pribadi wartawan.
- Hal ini berbeda dengan pendapat interpretatif, bahwa pendapat dalam bentuk wartawan pada interpretasi dari fakta-fakta.
Praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, liputan pers bisa dikatakan melanggar asas praduga tidak bersalah jika harus menilai seseorang atau beberapa orang telah terlibat atau bersalah melakukan tindak pidana, meskipun belum dibuktikan melalui putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap .
Dalam hal ada berita yang merugikan orang lain, maka mekanisme penyelesaian yang dapat dicapai adalah melalui hak jawab (Pasal 5, ayat [2] UU Pers) dan hak koreksi (Pasal 5 ayat [3] UU Pers).
Hak jawab adalah orang yang tepat atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pelaporan fakta yang merugikan nama baik, sementara hak-hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau memperbaiki kesalahan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang diri mereka sendiri dan orang lain. Deskripsi rinci lihat artikel Resolusi Mekanisme pada Pelaporan Merugikan Press.
Menurut Kode Etik Jurnalistik, penilaian akhir dari pelanggaran etik jurnalistik Dewan Pers. Sedangkan sanksi untuk pelanggaran etika jurnalistik yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan jurnalis dan pers.
Dengan demikian, proklamasi dikatakan melanggar asas praduga tak bersalah jika itu adalah untuk menilai orang dan pelanggaran UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Pihak menilai apakah ada pelanggaran kode etik pers adalah Dewan Pers.
Dasar Hukum :
- Hukum Acara Pidana
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang
- Peraturan Dewan Pers Nomor 6 / Peraturan-DP / V / 2008 tentang Pengesahan Keputusan Dewan Pers
- Nomor 03 / SK-DP / III / 2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers.
Asas Praduga Tak Bersalah dalam Perkara Pidana
Pada dasarnya, problematik penerapan asas praduga tak bersalah dalam perkara pi- dana ini, berkaitan dengan kedudukan yang ti- dak seimbang antara tersangka/terdakwa de- ngan aparat hukum yang berkepentingan, se- hingga dikuatirkan terjadi tindakan sewenang- wenang dari aparat hukum. Hukum pidana, se- bagai hukum publik, mengatur kepentingan umum, sehingga berhubungan dengan negara dalam melindungi kepentingan umum, sedang- kan hukum perdata yang merupakan hukum privat pada umumnya mengatur kepentingan pribadi, lebih diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam menuntut kepenti- ngannya yang dilanggar sesuai dengan asas point d’interet point d’action.
Kedudukan ti- dak seimbang dalam perkara pidana memung- kinkan terjadinya perlakuan sewenang-wenang dari aparat hukum terhadap tersangka/terdak- wa yang dianggap telah melanggar kepentingan umum dalam proses pemidanaan sebagai orang yang bertanggung jawab atas terjadinya keti- dakseimbangan tatanan dalam masyarakat aki- bat adanya pelanggaran hukum.
Tersangka/terdakwa dalam proses pene- gakan hukum, dihadapkan dengan negara atau penguasa, maka secara umum, kedudukan si terdakwa tidak mungkin disamakan dengan pe- nyidik dan penuntut umum dalam proses pemidanaan. Meskipun sifat akuisator yang di- anut dalam perkara pidana saat ini, terdapat kecenderungan proses peradilan pidana yang mengarah kepada adversary system.
Sistem adversari adalah sistem peradilan yang mendudukkan kedua belah pihak yang berperkara dalam posisi saling berhadapan dan saling berlawanan. Dalam judul perkara, sistem adversari ini sudah dapat dilihat, karena pada umumnya judul perkara perdata menyebut per- kara antara si A sebagai penggugat melawan si B sebagai tergugat. Sistem adversari yang dike- nal dalam perkara perdata pada dasarnya dise- babkan karena kedudukan para pihak yang ber- perkara adalah sama, sehingga dalam beracara di persidangan, mereka didudukan dalam posisi yang sama dan saling berhadapan.
Konsekuensi dari sistem adversari ini, adalah, para pihak mempunyai kesempatan yang sama dalam proses jawab menjawab dan dalam proses pemeriksaan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan. Kesempatan yang sama ini juga berkaitan dengan kesempatan untuk dimenangkan dalam perkara bergantung kepada pembuktian terhadap dalil-dalil yang dikemukakan para pihak di persidangan.
Akuisator, dalam Kamus Hukum Umum, diartikan sebagai proses peradilan yang mem- perlakukan tersangka atau terdakwa dengan baik sebagai pihak yang sederajat dengan penyidik dan penuntut umum, dengan memberikan ke- sempatan kepada tersangka/terdakwa untuk membela diri dan didampingi oleh pembela. Pada kenyataannya sistem adversari ini, tidak dapat diterapkan sepenuhnya dalam perkara pi- dana, karena meskipun sudah ditentukan sede- mikian rupa, namun dalam praktek penyidikan, polisi sering melakukan upaya penyiksaan ataupun pemaksaan kepada si tersangka untuk mendapatkan pengakuan atas tindakan yang dituduhkan kepadanya.
Asas Praduga Tak Bersalah dalam Perkara Perdata dan Pengaturannya
Asas praduga tidak bersalah yang terkan- dung dalam Pasal 8 ayat (1) UU Kekuasaan Ke- hakiman secara yuridis tidak disebut dalam HIR/Rbg sebagai ketentuan hukum beracara perdata di pengadilan. Oleh karena asas ini ti- dak disebutkan dalam HIR/Rbg, sedangkan da- lam KUHAP diatur tentang asas praduga tidak bersalah, maka asas ini lebih dikenal dalam perkara pidana. Namun sebagai asas umum hu- kum acara, maka asas praduga tidak bersalah ini juga dikenal dalam perkara perdata, dengan mengingat dasar filosofis lahirnya asas praduga tidak bersalah, yaitu persamaan di depan hu- kum dan realisasi hukum yang diberikan hakim melalui putusaannya dianggap sebagai kebe- naran.
Pihak penggugat dan tergugat dalam per- kara perdata, pada dasarnya mempunyai kedu- dukan yang seimbang dalam hukum sehingga penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan menggunakan sistem adversari. Perbedaan ke- dudukan antara pihak-pihak dalam perkara pi- dana ini menimbulkan perbedaan anatomi antara putusan hakim perdata dengan putusan hakim pidana. Pada putusan hakim perdata, pertimbangan tentang duduknya perkara diurai- kan secara terpisah dari pertimbangan hukum- nya, sedangkan dalam putusan hakim pidana tidak dipisahkan antara pertimbangan duduk perkara/peristiwanya dengan pertimbangan hu- kumnya.
Perbedaan ini disebabkan karena dalam proses beracara perdata, kedudukan para pihak adalah sama-sama mengajukan peristiwa yang disengketakan dan mengajukan bukti-buk- ti untuk atau dalil-dalil untuk menguatkan pe- ristiwa yang diajukannya. Dalam putusan hakim pidana, pertimbangan peristiwa yang menyang- kut pertimbangan atas fakta-fakta, dan keada- an, serta pertimbangan atas bukti-bukti yang terjadi di persidangan sebagai dasar hakim un- tuk menentukan kesalahan terdakwa disatukan (Pasal 197 ayat (1) KUHAP).
Realisasi penerapan asas praduga tidak bersalah dalam perkara perdata didasarkan ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR/124 ayat (1) Rbg. Ketentuan ini mengharuskan gugatan di- ajukan kepada Pengadilan Negeri tempat ting- gal tergugat, dikenal dengan asas actor sequi- tor forum rei. Berdasarkan asas ini, seseorang tidak dapat dipaksa untuk menghadap ke Pe- ngadilan Negeri tempat tinggal penggugat kare- na tergugat belum tentu bersalah atau gugatan si penggugat belum tentu dikabulkan oleh pe- ngadilan.
Asas actor sequitor forum rei yang ter- kandung dalam Pasal 118 ayat (1) HIR/124 ayat (1) Rbg menginginkan agar si tergugat tetap di- hormati dan diakui hak-haknya selama belum terbukti kebenaran gugatan penggugat dalam bentuk putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, oleh karena itu, tergugat tidak dapat di- paksa untuk berkorban demi kepentingan pihak penggugat yang tidak tinggal sekota dengan si tergugat. Asas actor sequitor forum rei, lahir karena secara teoretis, kewenangan mengadili dari suatu pengadilan terdiri dari kewenangan atau kompetensi absolut dan kewenangan/kom- petensi relatif.
Kewenangan atau kompetensi absolut/mutlak diartikan sebagai kekuasaan/ kewenangan mengadili suatu pengadilan dari berbagai jenis pengadilan dalam suatu negara, sedangkan kompetensi relatif adalah kekuasa- an/kewenangan mangadili suatu pengadilan berdasarkan pembagian kekuasaan dari pengadilan sejenis.
Kompetensi relatif dari pengadilan negeri mempersoalkan pengadilan negeri manakah gugatan harus diajukan? Berdasarkan asas actor sequitor forum rei yang terdapat dalam Pasal 118 ayat (1)HIR/142 ayat (1) Rbg, maka gugat- an perdata harus diajukan kepada Ketua Pe- ngadilan Negeri dalam daerah hukum tempat tinggal si tergugat. Ini berarti pada umumnya kekuasaan/kewenangan relatif atau daerah hu- kum Pengadilan Negeri dalam perkara perdata adalah di daerah tempat tinggal si tergugat.
Penyimpangan terhadap asas actor sequi- tor forum rei dapat dilakukan apabila tergu- gat tidak mempunyai tempat tinggal yang nyata atau tidak dikenal. Dalam hal ini gugatan diaju- kan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal tergu- gat. Apabila gugatan mengenai benda tetap, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Ne- geri tempat benda itu berada sesuai dengan asas forum rei sitae. Apabila ada perjanjian yang memuat pilihan hukum, maka gugatan di- ajukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat hukum yang dipilih.
Asas actor sequitor forum rei ini berkait- an dengan asas persamaan di depan hukum yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) UU Ke- kuasaan Kehakiman. Ketentuan tersebut, me- netapkan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Ber- dasarkan asas persamaan ini, maka semua ma- nusia dipandang sama sehingga harus diperlaku- kan sama. Tuntutan harus sama dilandasi oleh pengakuan akan kodrat manusia yang mempu- nyai derajat dan martabat yang sama, sehingga manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama pula.
Demikianlah pembahasan mengenai Asas Praduga Tak Bersalah – Menghakimi, Perkara Pidana dan Perdata semoga dengan adanya ulasan tersebut dapat menambah wawasan dan pengetahuan anda semua, terima kasih banyak atas kunjungannya.
Baca Juga :